Alhimna.Com - Dalam al-Qur’an, Allah telah
berfirman “Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 88).
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa
tujuan syariat Islam adalah terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan di
akhirat. Untuk mencapai kebahagian itu, manusia harus melakukan 2 hal, yakni
berbuat baik (al-ihsan)
dan larangan berbuat destruktif, seperti merusak alam.
Mengikuti petunjuk ini merupakan
sebuah wujud ketaatan manusia kepada Sang Pencitpa. Tentu dalam menjalankan
petunjuk ini harus sesuai dengan syariat Islam yang telah digariskan Allah Swt.
Tujuan syariat Islam demikian yang
menjadi pegangan pemikiran keislaman KH. MA Sahal Mahfudh –selanjutnya ditulis
Kiai Sahal, adalah apa yang disebut dengan “fiqih sosial”.
Adalah salah satu gagasan dan
sekaligus sumbangan penting Kiai Sahal dalam kajian hukum Islam –yang sering
disebut dengan istilah fiqih, yang tidak diartikan sebagai hukum murni dalam
pengertian sempit, namun mencakup seluruh bidang kehidupan, seperti etika,
keagamaan, ekonomi dan politik.
Dalam pandangan fiqih sosial Kiai
Sahal, sasaran syariat Islam adalah manusia. Preposisi ini didasarkan pada
sejumlah ajaran dalam syariat Islam itu sendiri yang mengatur soal penataan hal
ikhwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual,
bermasyarakat dan bernegara.
Syariat Islam mengatur hubungan
antar manusia dengan Allah, dalam terminologi fiqih disebut ibadah, baik sosial
maupun individual, muqayyadah
(terikat oleh syarat dan rukun), maupun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak
terikat oleh syarat dan rukun tertentu).
Ia juga mengatur hubungan antar
sesama manusia dalam bentuk musyârakah
(pergaulan), maupun mu‘âmalah
(hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu, ia juga
mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munâkahah. Untuk menata
pergaulan yang menjamin ketentraman dan keadilan, syariat Islam juga punya
aturan yang dijabarkan dalam komponen jinâyah,
dan qadlâ`,
(hlm. 144).
Maka, komponen fiqih di atas merupakan
teknis operasional dari 5 tujuan prinsip syari’at Islam (maqâshid al-syarî‘ah), yaitu
memelihara agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda.
Komponen-komponen itu secara bulat
dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka
berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat (sa‘âdah al-dârain) sebagai
tujuan hidup manusia. Unsur-unsur kehidupan dunia dan akhirat, tidak berdiri
sendiri, melainkan saling mempengaruhi dan saling menunjang, hlm (151).
Dalam hal ini, Kiai Sahal
menjelaskan, “Perintah mu’amalah
serta larangan pencurian mengandung arti untuk menjaga harta benda, demikian
pula perintah nikah, adopsi atau had
bagi pelaku zina menunjukkan isyarat untuk melindungi keturunan. Sementara
perintah untuk makan dan minum satu sisi larangan untuk berlaku israf, di pihak lain
diberlakukannya hukum diyat
dan qishash
bagi pelaku pembunuhan adalah isyarat diwajibkannya melindungi jiwa. Demikian
juga yang lainnya”, (hlm. 119).
Rumusan maqâshid al-syârî’ah itu memberikan
pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek
pengembangan kepada Tuhan. Akan tetapi justru sebaliknya, kepentingan
kemanusiaan yang lebih diutamakan. Ini terlihat dari kelima “tujuan syari’at”
itu hanya satu yang berkaitan dengan Tuhan (baca: ubûdiyyah) yakni menjaga agama, selebihnya berhubungan
dengan kepentingan manusia.
Dari Madzhab Qauli Menuju Madzhab Manhaji
Sebagai upaya untuk membumikan
al-Qur’an, agar Islam selalu shâlih
li kull az-zamân wa al-makân. Maka bermadzahab secara metodologis (madzhab manhâjî) bagi
Kiai Sahal merupakan suatu keharusan.
Hal ini bukan hanya lantaran
teks-teks fiqih dalam kitab kuning sudah tidak sesuai dengan zaman, karena
berubahnya ruang dan waktu. Namun juga memahami fiqih secara tekstual (madzhab qaulî) merupakan
aktifitas yang ahistoris dan
paradoks dengan makna fiqih itu sendiri.
Sebab fiqih yang berarti “pemahaman
yang mendalam terhadap sesuatu” mengandung makna penalaran atas segala
persoalan hukum. Selain itu juga, fiqih tergolong ilmu muktasab, di mana di
dalamnya tersimpan makna sebagai usaha yang kontinu dalam menggali hukum sesuai
dengan perubahan zaman.
Dalam hal ini, Kiai Sahal sering
mengutip ungkapan Imam al-Ghazali “faqihun
‘an mashâlih al-khalqi fi ad-dunyâ”. Artinya, seorang ulama, kiai dan tokoh
Islam harus mampu menangkap “pesan zaman” demi kemaslahatan umat di dunia.
Untuk dapat “menangkap pesan zaman demi kemaslahatan umat” itu jelas
membutuhkan sebuah pra-syarat berupa madzhab
manhâjî. Sebab jika hanya mengikuti (baca: taqlîd) terhadap qaul-qaul ulama
terdahulu dalam kitab kuning, jelas tidak akan mampu menangkap “pesan zaman”,
apalagi untuk kemaslahatan umat, (hlm. 117).
Harapan Kiai Sahal tidak hanya
sampai “menangkap pesan zaman”, tetapi juga memberikan solusi serta konseptual
kepada umat dalam setiap menyelesaikan permasalahan. Kiai Sahal mengatakan,
“Kalau kita sudah menyetujuinya sebagai yang halal, maka kita juga harus
membicarakan konseptualnya untuk umat. Kalau haram, kita diharuskan
membicarakan bagaimana pemecahannya agar umat tidak menyimpang dari nilai-nilai
Islam”, (hlm. 144).
Dengan demikian, dalam pandangan
Kiai Sahal paradigma dalam memandang fiqih perlu berubah. Fiqih tidak lagi
dipahami sebagai kebenaran ortodoksi yang berwatak hitam-putih, melainkan
sebagai pemaknaan sosial yang sangat dinamis dan kritis. Fiqih juga tidak lagi
berfungsi sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan, melainkan sebagai medium
kritik sosial.
Buku karya Sumanto al Qurtuby ini
merupakan salah satu buku dari sekian banyak karya yang mengkaji secara
mendalam pemikiran fiqih sosial Kiai Sahal. Fiqih sosial merupakan pemikiran
keislaman yang berupaya menampilkan fiqih yang reaktualistik, apresiatif,
proaktif dan realistik. Sehingga pada setiap jawaban atas segala permasalahan
yang berkembang di masyarakat selalu dapat diterima dan sekaligus menarik untuk
dikaji ulang.
Sebagai penutup, Kiai Sahal pernah
mengatakan “pekih (baca:
fiqih) itu kalau rupek yo
diokeh-okeh”. Artinya, fiqih itu kalau menemui jalan buntu, ya
diubah, sesuai dengan kondisi perkembangan zaman, (hlm. xxvi).
Ini merupakan sebuah pernyataan yang
singkat namun memiliki makna yang sangat dalam. Adapun kedalaman pemaknaan
terhadap pernyataan ini sebagaimana tereksplor dalam pemikiran fiqih sosial
Kiai Sahal. (*)
Identitas Buku:
Penulis : Sumanto Al Qurtuby
Judul : KH MA Sahal Mahfudh; Era
Baru Fiqih Indonesia
Cetakan : Nopember 2017
Penerbit : eLSA Press
ISBN : 978-602-6418-15-9
Peresensi : Fakhrun Nisa, Alumni Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MA NU) Banat
Kudus
Sumber : NU
Jateng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar