
Penulis : Sumanto Al Qurtuby
Penerbit : eLSA Press, Semarang
Cetakan : I, Januari 2017
Tebal : Iv + 300 Halaman
Peresensi : Siti Nur Halimah, Pemimpin
Redaksi Majalah Justisia LPM Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
Sumber : NU Jateng
Order
: 085 640 033 625 (SMS/WA)
Proses
penyebaran Islam di Nusantara telah melalui babakan sejarah yang sangat
panjang. Perihal waktu yang menjadi permulaan tersebarnya agama yang pertama
kali diperkenalkan di jazirah Arabia ini, para sarjana berbeda pendapat.
Ada
yang mengatakan sejak abad ke-7 M yakni sejak permulaan perkembangan Islam di
tanah kelahirannya abad ke-12 M dan seterusnya.
Namun
menurut Azyumardi Azra proses laju islamisasi Nusantara yang paling cepat baru
dimulai sejak abad ke-12 dan 16 M.
Dalam
rentang abad ke-12 dan 16 M ini penyebaran Islam di Nusantara mulai terlihat.
Sumanto Al Qurtuby yang secara khusus meneliti “Islamisasi Nusantara”
pada abad ke 15 dan 16 M mulai dari proses penyebarannya hingga agen-agennya menghasilkan
kesimpulan yang sangat memukau.
Menurutnya,
islamisasi di dalam rentang waktu abad 15 dan 16 yang menjadi babakan pertama
dan utama tersebarnya Islam secara luas dilakukan oleh “orang-orang Cina
Muslim”.
Hasil
penelitian Sumanto itu ditulis dalam bukunya yang berjudul “Arus Cina-Islam-Jawa: Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad 15 & 16” yang
diterbitkan oleh penerbit buku-buku pemikiran progresif di Semarang, eLSA
Press.
Dalam
buku yang berasal dari tesisnya di program magister jurusan Sosiologi Agama
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu secara apik dan teliti
Sumanto menyajikan data-data yang sangat lengkap berkaitan dengan penyebaran
Islam di Nusantara pada abad ke-15 dan 16 M.
Tidak
hanya menggunakan sumber-sumber lokal Nusantara seperti Babad Tanah Djawi, Babad Gresik,
Babad Tuban dan yang lainnya, ia juga mendapuk sumber-sumber lain
yang berkaitan, seperti sumber-sumber Cina: Ying-yai
Sheng-lan, Hsin-cha Sheng-lan, Ming Shi, dan lain-lain, sumber
Portugis: Summa Oriental,
sumber Arab: ‘Ajaibil
Hindi, dan yang lainnya.
Selain
menggunakan sumber-sumber tertulis di atas, karya intelektual NU yang kini
menjadi pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum
and Minerals Arab Saudi juga diperkuat dengan cerita lisan yang berkembang
di masyarakat dan situs-situs sejarah seperti makam, masjid, keraton, dan
peninggalan sejarah lainnya.
Dalam
buku setebal 300 halaman, Sekretaris Jenderal Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika
dan Kanada itu mendedahkan bahwa keberhasilan islamisasi di Nusantara lebih
banyak diperankan orang-orang Cina Muslim yang melakukan perlawatan ke
Nusantara pada abad ke 15 dan 16 M baik karena kepentingan ekonomi, politik,
maupun murni untuk berdakwah (hal. 39).
Perjumpaan
orang-orang Cina dengan penduduk Nusantara sendiri dimulai sejak awal abad ke 5
M dua abad sebelum Islam datang di jazirah Arabia.
Islam
hadir pada abad ke-7 M dan langsung dikenal penduduk Cina pasca Nabi Muhammad
wafat. Penyebaran Islam di Cina dimulai ketika Khalifah Utsman bin ‘Affan
(644-656 M) mengirim delegasi ke Changan yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqash
yang oleh sumber Cina disebut dengan “utusan Tan-mai-mo-ni” atau dalam bahasa
Arab disebut “utusan amirul
mukminin” (hal. 56-57).
Bukti-bukti
historis penyebaran Islam di Cina abad ke-7 ini antara lain dengan peninggalan
Masjid Huaisheng di Kanton (Arab: Kanfu)
yang dibangun pada tahun 627 M. Masjid ini menurut para sejarawan seusia dengan
Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Selain
itu di Guangzhou Cina sendiri dipercaya terdapat makam Sa’ad bin Abi Waqqash
yang hingga kini ramai diziarahi umat Islam (hal. xix, 56-57,).
Melalui
penelusuran sejarah Islam di Cina, senior scholar di Middle East Institute
National of Singapore ini kemudian membuktikan penyebaran Islam di
Nusantara yang disebarkan oleh orang-orang Cina Muslim yang melawat ke negeri
ini.
Para
penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan “Walisongo” sebagian di antaranya
adalah orang Cina dan sebagian lain menikah dan dibantu orang-orang Cina.
Pun
dengan para raja di Jawa banyak di antaranya yang orang Cina. Bahkan, Kerajaan
Demak yang ditengarahi sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah
“rezim Cina” (hal. 243).
Perihal
kontribusi Cina Muslim dalam penyebaran Islam di Nusantara ini berhasil didedah
secara nyata oleh Sumanto Al Qurtuby baik melalui penelusuran terhadap
“teks-teks kuno” maupun situs-situs sejarah dan keterpengaruhan budaya atau
yang disebutnya dengan “Sino-Javanese
Muslim Culture”.
Pertanyaannya
kemudian, kenapa masyarakat Muslim Indonesia lebih banyak yang meyakini peran
orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara? Buku yang diberi kata
pengantar oleh almarhum
Prof. Dr. Nurcholish Madjid ini memberikan jawaban: karena sejak kedatangan
penjajah Belanda ke Nusantara, orang-orang Cina selalu dijadikan “kambing
hitam” atas segala kekacauan yang sebenarnya dilakukan para penjajah Belanda
sendiri demi meraup keuntungan ekonomi dan politik (hal. 224-233).
Sedangkan
keberadaan Arab-Muslim di Nusantara memiliki sejarah yang “mulus” tanpa ada
narasi kekerasan di dalamnya, sehingga seakan-akan perannya dalam islamisasi
sangat besar padahal orang-orang Arab sendiri baru datang ke Nusantara pada
akhir abad ke-18.
Karena
itu kontribusinya dalam penyebaran Islam di Nusantara dipertanyakan alasannya
antara lain watak Arab yang eksklusif yakni tertutup dan tidak membuka diri
untuk bersosialisasi dengan bangsa lain.
Selain
itu Arab Muslim juga selalu merasa superior yakni sebagai “trah Islam
tertinggi”. Dalam relasinya dengan non Arab, Arab Muslim selalu memposisikan
dirinya sebagai “kelas superordinat” sedangkan Nusantara Muslim berada di
“kelas subordinat”.
Relasi
demikian menurut analisis penulis buku ini tidak mungkin akan terjadi
transformasi kultural dalam kehidupan masyarakat Islam Jawa (hal. 234-236).
‘Ala
kulli hall buku Arus
Cina-Islam-Jawa menemukan relevansinya bagi masyarakat Indonesia
saat ini yang sedang “demam keturunan Arab” dan mudah terprovokasi dengan
isu-isu SARA yang terus direproduksi.
Akhirnya
seperti dikatakan Ir Soekarno bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pahlawannya”. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar