Oleh : Fadh Ahmad Arifan
Alhimna.Com - Ketika menghadiri konferensi, acara
kedinasan dan pengajian ada pembicara atau narasumber yang menyebut nama Nabi
Muhammad SAW.
Seringkali saya mendengar sebagian peserta yang hormat dan cinta Nabi
Muhammad spontan mengucap "Shallahu'alahi...". Intinya
bershalawat tiap nama ayahanda Siti Fatimah Az-Zahra itu disebut-sebut.
Tradisi bershalawat seperti ini merupakan wujud dari pengamalan dari
surah al-Ahzab ayat 56: "Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah yang sempurna".
Menurut sabda Nabi orang yang malas mengucap shalawat tergolong orang
bakhil. "Orang
yang bakhil adalah orang yang apabila aku disebut, dia tidak membaca
shalawat kepadaku" (HR. At-Tirmidzi).
Membaca shalawat untuk Nabi muhammad ada di dua tempat : di dalam shalat
dan di luar shalat. Bacaan shalawat di luar shalat misalnya saat hari Jumat.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”Banyaklah bershalawat kepadaku di hari Jumat
dan malam Jumat. Barang siapa melakukan hal itu, maka aku menjadi saksi dan
pemberi syafa’at baginya di hari kiamat (Al Baihaqi).
Setiap kali umat Islam membaca shalawat atas Nabi Muhammad akan dibalas
oleh Allah SWT 10 kali lipat shalawat dan dihapus 10 kesalahan serta diberikan
10 macam pahala (Muhammad Alfis Chaniago, Indeks Hadits dan Syarah jilid 2, CV
Pustaka Qalbu, 2014).
Penghormatan kepada Nabi Muhammad juga merambah ke dunia literatur dalam
hal ini kitab turats maupun penulisan buku-buku keislaman. Predikat atau
lafadz Shallahu 'Alaihi
Wasallam (SAW) selalu ditambahkan di belakang nama beliau.
Pertanyaannya adalah bagaimana asal-muasal dan siapa pelopor penambahan
lafadz SAW tersebut? Ulama tafsir Thahir ibn Asyur dan ulama Hadis al-Qadhi
iyadh menyatakan penulisan nama nabi Muhammad yang selalu diikuti lafadz SAW
muncul sejak abad IV hijriyah. Kitab tafsir dan hadis sejak abad tersebut mulai
menambahkan lafadz Shallahu'
Alaihi Wasallam (SAW).
Rupanya yang mempelopori tradisi ini adalah ulama hadis. Bukan hanya
nama Nabi Muhammad, An-Nawawi juga menganjurkan untuk menambahkan kata untuk
lafadz Allah dengan "Azza wa Jalla", "Ta'ala" atau
"Subhanahu wa Ta'ala" (SWT).
Kalau seseorang menyalin dari suatu buku/ kitab yang tidak mencantumkan
lafadz tersbut, maka sebaiknya penyalin mencantumkan. "Seseorang hendaknya jangan bosan
mengulanginya, siapa yang mengabaikan hal ini, maka dia telah luput meraih
kebaikan yang banyak," Begitu tulis an-Nawawi dalam muaqddimah
Shahih muslim (Tafsir al-Misbah Volume 11, hal 315-316).
Perlu diketahui, penambahan lafadz SAW untuk Nabi Muhammad dan lafadz
SWT untuk Allah tidak akan diperbolehkan dalam pengkajian Islam di kampus
Barat.
Jangankan lafadz tersebut, saat mencantumkan kalimat
"bismillahirrahmanirrahim" sebagai permulaan menulis artikel dalam
jurnal juga dilarang.
Pelarangan ini dimaksudkan untuk menegaskan adanya netralitas dalam
jurnal tersebut, yang menempatkan Islam cuma sebagai disiplin akademis. Bukan
sebagai suatu ajaran yang diimani (Djoko susilo, Kontroversi Pusat pengkajian Islam
di Barat, majalah SM edisi 15-31 Maret 1997, Hal 43).
Sebelum mengakhiri ulasan tentang ulama yang menjadi pelopor penambahan
lafadz SAW dan SWT, perlu kiranya seorang Muslim tak usah berlagak netral atas
nama “ilmiah”, dianggap obyektif dan digelari “intelektual” dalam Studi Islam.
Sikap seorang Muslim harus tegas, tak boleh bersikap mengambang apalagi
melempem saat mensyiarkan keluhuran agama Islam di mana pun ia berada. Wallahu'allam.
(*)
__Alumnus
Fakultas Syariah UIN Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar