
Penelitiannya yang
ia ajukan untuk memenuhi syarat kelulusan S2 Konsentrasi Pemikiran Islam di UIN
Sunan Ampel Surabaya menghasilkan buku ini.
Buku ini terasa
unik juga diakronik. Karena Ia memaparkan sejarah kelembagaan kekuasaan dan
politik Islam, secara jernih, runtut dan renyah.
Terasa unik karena
ia memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap relasi antara agama dan politik.
Dalam pengantarnya ia mengatakan bahwa dalam perspektif tali-temali agama dan
politik terdapat dua pertanyaan mendasar, yaitu agama dalam arti what does
religion do for other? Dan what is religion?
Menurut Moh Sholeh
secara empirik bagi umat Islam terdapat tiga paradigm terkait dengan relasi
Islam dan Politik.
Pertama, Integrated Paradigm yang
menyatakan bahwa wilayah agama merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga
politik. Pemerintah Negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine
sovereignty), secara faktual model ini dijalankan di Iran.
Kedua Symbiotic Paradigm yaitu
pandangan yang menyatakan bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik,
dalam arti berhubungan secara timbal balik dan saling membutuhkan.
Dalam hal ini negara
membutuhkan agama sebagai pijakan kekuatan moral sehingga dapat menjadi alat
mekanisme kontrolnya.
Di antara ulama
yang pemikirannya bias digolongkan dalam model ini adalah Imam al-Mawardi.
Ulama lain yang pemikirannya masuk ke dalam paradigma ini adalah Imam
al-Ghazali.
Ketiga,
Secularistic Paradigm yang memandang
relasi antara agama dan dan negara harus terpisah. Pandangan inilah yang
menolak dengan tegas Paradigm Integrated maupun symbiotic.
Dalam pandangan secularistic
paradigm tugas Nabi Muhammad SAW tak lebih dari tugas kenabian bukannya
kekuasaan (innaha nubuwah la mulk) sebagaimana nabi terdahulu.
Masih dalam pandangan
secularistic paradigm, Moh. Sholeh menjelasaskan bahwa urusan keduniaan
Nabi SAW diserahkan kepada umatnya (antum a’lamu bi umuri dunyakum),
termasuk urusan politik.
Lebih jauh
secularistic paradigm ini menyatakan bahwa islam tidak memiliki kaitan apa pun
dengan system kekhalifahan, sehingga sistem kekhalifahan adalah tergolong
urusan duniawi murni.
Secara umum
pendukung secularistic paradigm ini selalu menyuarakan bahwa belief
is one thing, and politics is another. Pandangan atas secularistic paradigm
ini diusung oleh Al-Syaikh Ali Abdu al-Raziq.
Sejarah
membuktikan bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW kembali keharibaan-Nya,
persoalan yang muncul justru bukan masalah aqidah, melainkan politik.
Saya sangat setuju
dengan penulis buku ini, agama dan negara sebagai inti politik merupakan dua
institusi yang mempunyai pengaruh besar dan kuat bagi manusia. Hanya untuk
agama dan negara, terkadang manusia rela mengorbankan dirinya, baik harta
maupun nyawa.
Tentu dengan motif
yang relatif pula, baik dalam rangka mendapatkan gelar syahid dalam pandangan
agama atau mendapat gelar pahlawan dalam pandangan negara.
Dalam buku ini
seolah-olah Moh. Sholeh ingin mengajak kita untuk mengingat kembali bahwa dalam
sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau
penerus Rasulullah SAW sebagai pembuat hukum dalam urusan agama dan politik.
Terlepas dari
secara etimologis kata khilafah yang berarti perwakilan atau pengganti. Konsep
Khilafah yang sampai pada generasi kita ini apakah murni untuk mendapat gelar
Syahid? Pahlawan? Atau memang sudah bergeser pada kepentingan lain?
Moh. Sholeh
menguraikan mengenai itu semua termasuk bagaimana suksesi gerakan Khilafah
melalui revolusi, sistem negara Islam klasik: akar teori Khilafah, termasuk
pergulatan formulasi teori Khilafah.
Lebih jauh lagi dalam
buku ini membahas bab-bab yang tidak terjangkau oleh penulis lain yang
menyoroti dan mengkritisi gerakan Khilafah, Moh. Sholeh menyuguhkan beberapa
bab khusus mengenai bentuk-bentuk negara dalam Islam di antaranya ada;
Khilafah, Mulk, Daulah, Imamah.
Bab yang tidak
kalah menarik adalah ketika ia bercerita tentang berbagai macam organisasi pengusung
restorasi Khilafah. Dengan bahasa yang sangat mengalir saya dibuat tercengang
oleh Moh. Sholeh karena ia mengungkapkan data bahwa bukan hanya Hizbut Tahrir
Islami saja yang mengusung restorasi Khilafah, ada empat organisasi yang
disebutkan oleh Dosen Universitas Islam Attahiriyah Jakarta ini bahkan
organisasi ini benar-benar di luar dugaan saya.
Karya Moh. Sholeh ini
dapat kita pakai sebagai petunjuk memahami pernak-pernik seputar Khilafah,
mulai dari kisah dramatis Musthafa Kaml Attaruk, Ali Abdul Raziq, Hassan
Al-Banna, Muhammad Bin Abdul Wahhab, Wahabisme, Saudi Arabia dan tanah kaum
Salafi.
Hingga pola suksesi
dalam institusi negara Khilafah dari Khulafa’ al-Rasyidin sampai periode Turki
Usmani. Setelah Istana Publishing Yogyakarta menerbitkan dalam buku ini,
masihkah secara buru-buru kita mengklaim bahwa Khilafah adalah ancaman untuk negara
Indonesia?
Sedangkan dari
Judul bukunya saja sudah sangat jelas bahwa “Khalifah Sebagai Produk Sejarah Bukan
Produk Syari’ah.”
Buku ini
menyuguhkan ulasan mendetail, runtut dan diutarakan dengan sangat apik oleh
Moh. Sholeh mengenai perjalanan Khilafah di Era Modern, dari Kongres ke
Kongres; Kongres awal, efek Libia dan Iran, Kongres-kongres kelompok, hingga
konferensi Khilafah di Jakarta pada tahun 2007.
Termasuk diakronik
karena dalam buku ini juga membahas tentang Khilafah, Sekularisme dan Nation
State; Pengalaman Bangsa-bangsa Muslim musal persinggungan. Mulai dari
Turki Usmani, Arab, Mesir, Aljazair, Iran, Asia Selatan, Indonesia Hingga
Malaysia.
Karena
kehati-hatian (penulis) dalam mengutip pendapat para ulama, ahli dan
kelompok-kelompok yang berbeda pendapat memaknai kesejatian khilafah, saya kira
karena itulah buku ini sangat demokratis dan memberi tawaran yang sangat
istimewa kepada para pendukung dan pengikut Khilafah di Indonesia yang
barangkali ingin kembali mencintai negaranya sendiri?
Sebagaimana
realitas empirik menunjukkan bahwa masih banyak di antara Umat Islam yang
menyadari bahwa tatanan masyarakat Madinah yang didirikan oleh Muhammad SAW
adalah identik dengan “Negara” yang plural secara suku dan keyakinan agama.
Mereka terdiri
dari suku-suku Arab Islam, baik dari Makkah dan Madinah, serta suku-suku di
luar keduanya. Masyarakat Madinah juga terdiri dari suku-suku Yahudi, Nasrani,
Majusi, bahkan mereka masih musyrik. Sebagai landasan Negara baru tersebut,
saat itu Rasulullah SAW memproklamasikan “Konstitusi Dasar” yang kemudian lebih
dikenal dengan nama “Mitsaq Madinah” atau piagam Madinah.
Perlu kita ingat
lagi bahwa dengan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu. Nabi SAW telah
meletakkan sendi-sendi kehidupan Nation State untuk masyarakat yang majemuk
secara etnis dan agama yang mana secara jelas inti pasal-pasal Piagam Madinah
dilukis dengan tinta baru dalam buku Ini.
Lebih lanjut,
mukaddimah Piagam Madinah tersebut menegaskan bahwa semua penduduk Madinah yang
bersifat majemuk itu adalah satu bangsa (innaha ummah wahidah).
Berdasarkan penegasan
itu pula para kiai di Indonesia berpendapat bahwa bangsa dibangun dan didirikan
tidak berdasarkan agama saja (based on religion) tetapi berdasarkan
pluralitas (based on plurality).
Berdasarkan piagam
tersebut mereka meyakini bahwa NKRI yang berdasarkan UUD 1945 adalah upaya
final bagi umat Islam dalam rangka mendirikan sebuah Negara.
Hadirnya buku yang
berani mengungkap sejarah seperti ini tidak bisa dihindarkan dari ruang publik kita
terutama untuk generasi yang kurang memahami sejarah Islam dan Politik dunia.
Karena setelah Rasulullah wafat, yang pertama menjadi agenda perbincangan umat
Islam adalah peroalan politik tentang suksesi beserta agenda kelompok-kelompok
yang muncul setelah itu.
Kembali pada
pertanyaan awal, apakah setelah resmi dibubarkan oleh Menteri Hukum dan HAM di
Indonesia masihkah saudara kita Hizbut Tahrir Indonesia tetap menolak
pluralisme, kebhinekaan, dan kesaktian Pancasila?
Ingin menjadi pemberontak
di negaranya sendiri? Atau ingin menjadi Syahid di hadapan Allah? Jika HTI
tetap memegang teguh prinsip Khilafah Islamiyahnya, bisa jadi hal itu karena
HTI menganggap bahwa Khilafah Islamiyah merupakan Produk Syariah bukan Produk
Sejarah.
Upaya penulis buku
yang pernah menimba ilmu di Pesantren al-Basyariyah, Darul Hikam, Darunnajah
dan Pesantren Tegalsari Ponorogo ini patut diapresiai. Semoga buku dengan
ketebalan 236 halaman ini bisa memperkaya pengalaman kita. Aamiin. (ip)
Judul Buku : Khilafah
Sebagai Produk Sejarah, Bukan Syariah
Penulis : Moh. Sholeh
Penerbit : Istana Publishing, Yogyakarta
ISBN : 978-602-60586-5-2
Ketebalan : 236 Halaman
Cetakan : Pertama, 2017
Peresensi : Ahmad Ali Adhim, Santri
Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Yogyakarta
Sumber : NU Online
Order : 085 640 033 625 (SMS/WA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar